Pada 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya di Gedung MPR/DPR menyatakan: “Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan konstitusi.”¹ Sebuah kalimat sederhana, namun menegaskan arah pengabdian seorang pemimpin: mandat berasal dari rakyat, dan landasannya adalah konstitusi.
Belakangan ini, seorang tokoh politik nasional melontarkan pernyataan: “Tidak mungkin seorang hamba mengabdi pada dua tuan.” Ungkapan ini memang terdengar tegas, tetapi jika diterapkan dalam konteks pejabat publik, justru menimbulkan persoalan serius. Dalil itu seolah menempatkan ketua partai sebagai “tuan” yang harus diutamakan, sementara rakyat—pemilik sah kedaulatan—digeser ke posisi sekunder.
Di sinilah letak kritiknya: logika “dua tuan” berpotensi menyederhanakan tugas pejabat publik hanya sebatas loyalitas internal partai. Padahal, demokrasi menuntut orientasi yang lebih tinggi. Konstitusi menegaskan bahwa tujuan bernegara adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”.² Dengan demikian, rakyatlah yang seharusnya menjadi pusat pengabdian.
Tentu kita tidak bisa menggeneralisasi. Banyak partai politik dan kadernya yang justru menegaskan DNA mereka: rakyat adalah orientasi utama. Dalam kerangka itu, rakyat bukan sekadar konstituen, apalagi instrumen politik, melainkan tuan yang wajib dilayani.
Sebagai kader partai di Kota Depok, saya merasakan pendidikan politik itu nyata. Kami dididik untuk belajar mendengar, bekerja, dan mengabdi pada masyarakat. Hal ini terlihat jelas dicontohkan oleh ketua kami di Depok yang juga pejabat publik: gerak cepat menindaklanjuti berbagai laporan warga dengan bukti kerja konkret yang bisa diverifikasi di media lokal.
Pesannya tegas: seorang pejabat publik tidak boleh terjebak pada dilema “dua tuan.” Loyalitas hanya satu—kepada rakyat, dalam bingkai konstitusi. Di situlah letak ukuran moral dan pengabdian sejati seorang politisi.
Catatan Kaki:
1. Pidato Presiden Joko Widodo pada Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gedung MPR/DPR, 20 Oktober 2014. Arsip resmi: setkab.go.id.
2. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinea keempat.
3. Catatan kecil ini saya buat di Depok, 4 September 2025.