Header Ads Widget

Responsive Advertisement

OPINI SANG GAJAH

Demokrasi Pindah ke Discord? Nepal Sudah, Indonesia Kapan?
Oleh: Marthin Gultom



Bayangkan jika pemimpin negara dipilih bukan lewat bilik suara, bukan lewat baliho, bahkan bukan lewat lobi hotel. Tapi lewat… Discord. Ya Discord bukan bilik suara dan sistem perhitungan yang rumit itu. Kedengarannya absurd? Itu yang baru saja terjadi di Nepal.

 
Nepal, Dari Krisis Jadi Eksperimen Digital

Nepal lagi-lagi dilanda krisis politik. Elit sibuk rebutan kursi, rakyat makin muak. Tapi anak-anak muda di sana tidak mau hanya jadi penonton. Mereka pindah arena, bikin "parlemen digital" di Discord. Ribuan orang nimbrung, ratusan channel dibuka, debat mengalir, lalu voting dilakukan. Hasilnya keluar dengan singkat, terpilih Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung yang bersih dan tegas, terpilih sebagai Perdana Menteri interim.
Yang membuat geger dan menjadi anomali Presiden Nepal mengesahkan hasil voting digital itu. Artinya, obrolan di server Discord tiba-tiba punya dampak nyata di panggung politik nasional.

 
Ini Bukan Lagi Tentang Nepal

Jangan buru-buru bilang, “Ah, itu kan Nepal.” Justru karena Nepal negara kecil dengan segala keterbatasan, keberhasilan ini bikin kita harus mikir keras.

Kalau mereka bisa bikin sistem alternatif yang dipercaya, kenapa kita—dengan infrastruktur, teknologi, dan SDM yang lebih besar. Nepal mengajarkan satu hal bahwa demokrasi bukan soal gedung megah atau anggaran triliunan. Demokrasi soal trust, koordinasi, dan keberanian bikin panggung baru.

 
PSI: Langkah Kecil, Dampak Besar

Di Indonesia, sebenarnya jejak awal sudah ada. Partai Solidaritas Indonesia berani membuat pemilihan Ketua Umum lewat voting online—pertama kali dalam sejarah partai politik kita. Mungkin ada yang nyinyir, “Ah, cuma partai kecil.” Tapi justru di situlah poinnya. Eksperimen demokrasi digital nggak harus nunggu partai besar atau negara turun tangan. Yang penting: ada yang mulai. Karena kalau voting internal partai saja bisa dilakukan online, apa yang menghalangi konsultasi publik atau bahkan e-voting di level lokal?

 
Demokrasi Digital Itu Bukan Utopia

Banyak orang skeptis: “E-voting rawan di-hack.” “Nggak semua orang melek digital.” “Internet di daerah masih lemot.” Benar, semua itu tantangan. Tapi mari jujur, demokrasi konvensional kita juga penuh masalah. Dari politik uang, surat suara nyasar,  sampai kotak suara “hilang” entah ke mana. Jadi kalau alasan keamanan bikin kita diam di tempat, itu sama saja menutup mata pada krisis demokrasi yang udah nyata. 

 
Jadi, Apa Selanjutnya?

Jika Nepal bisa membuat perubahan lewat Discord, dan PSI sudah memulai voting online, langkah kita seharusnya lebih jauh:

- Membangun regulasi e-voting yang transparan dan adaptif.

- Memperluas literasi politik digital biar warga nggak gampang disetir hoaks.

- Memastikan infrastruktur internet merata biar tidak ada demokrasi kelas dua.

- Mendorong kolaborasi antara partai, komunitas sipil, dan anak muda tech-savvy.


Karena demokrasi digital bukan sekadar soal aplikasi. Ini soal bagaimana kita membuat politik terasa relevan lagi buat generasi yang sudah jenuh dengan drama lama. Nepal sudah membuktikan bahwa ruang obrolan bisa jadi ruang revolusi. PSI sudah menunjukkan bahwa voting online bukan fantasi, tapi kenyataan. Jadi, pertanyaan akhirnya adalah apakah kita mau terus menjadi penonton, atau ikut bikin panggung demokrasi digital versi Indonesia?